Jumat, 23 Maret 2012

KRISIS EKONOMI PENYEBAB DAN USAHA PENANGGULANGANNYA "Perekonomian Indonesia"



 
I. Pendahuluan
 Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 telah berhasil menetapkan dan melantik KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kemudian pada waktu itu Presiden Abdurrahman Wahid dengan dibantu oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA. (Ketua MPR), Ir. Akbar Tandjung (Ketua DPR), dan Jenderal Wiranto (Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan), menyusun Kabinet Persatuan Nasional yang diharapkan dapat segera memulihkan stabilitas politik dan perekonomian Indonesia.

Namun dalam perjalanannya, Kabinet Persatuan Nasional satu per-satu Menterinya lengser/dilengserkan oleh Presiden. Diantaranya  Dr. Hamzah Haz  yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, terpaksa melengserkan diri. Kemudian disusul oleh Jenderal Wiranto, Ir. Laksamana Sukardi (Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN) dan    Drs. Yusuf Kalla (Menteri Perindustrian dan Perdagangan).

Untuk memantapkan pemerintahannnya, Presiden Abdurrahman Wahid menyusun Kabinet baru Pasca Sidang Tahunan MPR 2000. Sejak terbentuknya susunan Kabinet tersebut sudah dua orang Menteri berhenti/diberhentikan, yaitu Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA (Meneg Pendayagunaan Aparatur Negara) dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc (Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia).

Namun penggantian Menteri-menteri Kabinet Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengatasi instabilitas politik, instabilitas keamanan dan krisis ekonomi belum  berhasil. Hal ini terbukti dengan belum terselesaikannya kerusuhan ethnis/agama yang terjadi di Ambon/Maluku Utara. Juga belum terselesaikannya masalah gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kerusuhan ethnis yang tercatat lainnya selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga terjadi di  Poso (Sulawesi Tengah) dan yang sekarang baru terjadi di Sampit (Kalimantan Tengah). Kerusuhan ethnis ini telah menimbulkan ribuan korban jiwa meninggal dunia dan harta benda yang tidak terhingga.

Akibat tidak adanya stabilitas politik dan keamanan di Indonesia maka usaha untuk mengatasi krisis perekonomian sampai sekarang belum berhasil. Disadari sepenuhnya bahwa untuk menciptakan stabilitas politik/keamanan dan stabilitas ekonomi tidak mudah terlaksana apabila Pemerintah tidak cepat dan sungguh-sungguh mengambil tindakan-tindakan yang mendukung pulihnya kepercayaan rakyat Indonesia maupun dunia Internasional kepada Pemerintah, khususnya dalam usaha Pemerintah untuk mengambil tindakan pembersihan Korupsi, Kolusi  dan Nepotisme (KKN).   

II. ISI
Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid telah berhasil membawa Bob Hasan ke meja hijau untuk diadili.  Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim yang diketuai oleh  Subardi, SH menjatuhkan hukuman untuk Bob Hasan selama dua tahun penjara. Padahal uang yang ditilep oleh Bob Hasan beratus-ratus juta dollar, antara lain kasus korupsi pemetaan dan pemotretan areal hak pengusahaan hutan (HPH) melalui udara. Bob Hasan bukan hanya menilep uang negara tetapi juga mengadakan pengurasan dan pengrusakan hutan di Kalimantan.
Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis Bob Hasan selama 2 tahun penjara tidak menyentuh rasa keadilan. Keputusan hakim tersebut betul-betul menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, walaupuan akhirnya Bob Hasan diganjar hukuman  6 tahun penjara setelah kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung. Itupun dianggap terlalu ringan.
Dengan adanya hal-hal tersebut diatas usaha pemerintah untuk mengatasi krisis perekonomian di Indonesia akan menghadapi tantangan-tantangan yang berat. Jika boleh dikatakan akan sangat sulit dicapai dalam waktu yang  singkat.
Tanda-tanda kegagalan dan keterpurukan perekonomian Indonesia pemerintahan Abdurrahman Wahid  terlihat dengan adanya:
1.      Defisit APBN 2001 menurut versi Pemerintah sebesar 3,7 % atau Rp. 53,8 triliyun dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal APBN 2001 sampai dengan bulan April 2001 baru berjalan 4 bulan.
2.      Total hutang luar negeri  telah melebihi 100 % total Produk Domestik Bruto (PDB)
3.      Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar akhir bulan April 2001 hampir mencapai  US $  1 = Rp. 12.000,-.
4.      Daya beli rakyat menurun, pengangguran mendekati 40 juta orang, lebih 82 juta orang hidup dibawah garis kemiskinan, indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh dari 677 (Januari 2000) menjadi 416 (Desember 2000), pemulihan ekonomi tidak focus dan visi pemerintah tidak jelas, program pemulihan ekonomi hanya slogan dan tidak menyentuh rakyat bawah, Presiden sumber ketegangan  (Sumber : Republika, 6 Januari 2001).
Pada situasi keadaan negara yang multi krisis seperti inilah, pada tanggal 30 April 2001 DPR-RI mengeluarkan  memorandum II kepada Presiden RI sebagai berikut :
Pertama  :     Menyatakan Presiden dalam waktu tiga bulan tidak memperhatikan memorandum I DPR yang telah disampaikan 1 Februari 2001.
Kedua    :     Menyampaikan memorandum II kepada Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat 3 Tap MPR No. 3/1978 sebagai kelanjutan memorandum I DPR tertanggal 1 Februari 2001 yang menganggap Presiden sungguh melanggar haluan negara yaitu:
a.       Melanggar UUD 1945 Pasal 9 soal sumpah jabatan
b.      Melanggar Tap. MPR. No. XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Ketiga    :     Memberikan waktu satu bulan kepada Presiden untuk mengindahkan Memorandum II sebagaimana dimaksud dalam butir No. 2 .
Jatuhnya Memorandum II tidaklah semata-mata karena masalah Buloggate dan Bruneigate. Masalah Buloggate dan Bruneigate hanyalah sebagai pemicu saja. Dikeluarkannya Memorandum II juga tidak lepas dari perilaku Presiden yang sering memberikan pernyataan-pernyataan yang kontroversil dan inkonsistensi. Presiden Abdurrahman Wahid juga dinilai kurang mempunyai sense of crisis seperti sering bepergian ke luar negeri sedangkan situasi di dalam negeri tidak kondusif  seperi adanya konflik ethnis di Sampit baru-baru ini.
Presiden Gus Dur juga dinilai mempunyai kebiasaan menyederhanakan persoalan yang penting dan ribut dengan hal-hal sepele.
Akibat perilaku Gus Dur yang terkesan otoriter berpengaruh terhadap ketidakstabilan politik/keamanan di dalam negeri yang selanjutnya menambah keterpurukan perekonomian Indonesia.
Memorandum I dan memorandum II disepakati DPR dengan semangat yang sama, yaitu hilangnya kepercayaan yang sangat signifikan terhadap Gus Dur. Presiden Wahid dalam tempo tiga bulan terakhir tidak berhasil meraup simpati dan dukungan dari fraksi lain  kecuali dari F-KB, basis politiknya. Fraksi TNI/Polri yang kemarin abstain, tidak bisa dinilai mendukung atau menentang. Seluruh proses dan dinamika politik selama pemerintahan Presiden Wahid hanya bergerak dalam spectrum yang amat sempit. Yaitu mempertahankan atau kehilangan kekuasaan. Parlemen muncul sebagai lembaga yang galak, sedangkan eksekutif terpojok pada posisi defensif. Karena itu, Pemerintahan Gus Dur kehilangan motivasi untuk mengatasi krisis, yang justru menjadi kebutuhan utama rakyat. Gus Dur lalu dengan sadar sesadar-sadarnya mengerahkan seluruh energi untuk menjaga kekuasaan, paling tidak sampai tahun 2004. (Tajuk Media Indonesia, 1 Mei 2001).

2.1 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS EKONOMI
            Awal krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai tampak pada pertengahan bulan Juli 1997 yaitu mulai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Nilai tukar rupiah terhadap US dollar pada pertengahan bulan Juli 1997 adalah US $ 1 = Rp. 3.000,- dari Rp. 2.500,- terus menurun menjadi US $ 1 = Rp. 8.650,- pada tanggal 15 Januari 1998  pernah hampir mencapai US $ 1 = Rp. 17.500,-.
Pada akhir pemerintahan Presiden Habibie  nilai tukar rupiah terhadap US dollar mulai stabil dan menguat yaitu  sebesar US $ 1 = Rp. 6.750,-.
Pada  awal pemerintahan Abdurrahman Wahid kurs rupiah pada bulan Oktober 1999 US $ 1 berkisar di bawah Rp. 7.000,- dan terus menurun tajam menjadi US $ 1 mendekati  Rp. 12.000,- pada akhir bulan April 2001. 
Faktor-faktor  penyebab krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia,  antara lain di sebabkan:
Krisis Ekonomi Periode I (Juli 1997 s/d bulan Oktober 1999).
1.      Krisis kepercayaan terhadap uang rupiah di mana masyarakat lebih mempercayai  US dollar daripada rupiah dan akibatnya mereka berlomba-lomba menukar uang rupiahnya ke mata uang US dollar. Hal ini disebabkan antara lain kurang transparansinya pihak pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Perlunya transparansi dalam konteks penggunaan anggaran belanja negara sangat diperlukan sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kita tidak akan mendapat kepercayaan bila tida ada transparansi. Lebih cepat tindakan diambil akan lebih cepat pula kita menuai buah usaha kita.
2. Krisis rupiah yang semula hanya bersifat kejutan dari luar (external shock) telah meluas menjadi krisis ekonomi yang berakibat luas, baik terhadap perusahaan maupun rumah tangga. Fondasi perekonomian Indonesia yang semula dianggap kuat ternyata tidak menunjukkan ketahanan menghadapi permasalahan akibat krisis nilai rupiah terhadap US dollar. Dari krisis ini tampak betapa secara struktural modal swasta berskala besar sangat lemah sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya hutang dan lemahnya daya saing  di pasar yang semakin terbuka. Pemerintah pun tidak mempunyai kewibawaan yang memadai dalam mengatasi krisis ini.  Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dollar berdampak luas, karena otoritas moneter juga melakukan kebijaksanaan uang ketat.  Akibatnya, baik pengusaha maupun rumah-tangga terkena dua-kali pukulan. Pukulan dari melemahnya Rupiah dan pukulan akibat langkanya Rupiah.
3.   Akibat Peraturan Pemerintah yang dikenal dengan Paket Oktober 1988 yang memungkinkan seseorang dengan modal Rp. 10.000.000.000,- dapat mendirikan bank berdampak buruk akibat kurang pengawasan dari Bank Indonesia.  Bank Indonesia  tidak atau terlambat men-deteksi pelanggaran yang dilakukan oleh bank-bank Swasta. Hal ini disebabkan karena ketidak-siapan aparat dan sistim dalam mengawasi ratusan bank yang bermunculan dengan cepat.  Bank Indonesia kemungkinan tak berani mengambil tindakan tegas karena pemiliknya punya akses kuat kepada kekuasaan. Di samping itu bank swasta banyak menyelewengkan dana-dana yang diterima dari  Bank Indonesia maupun dana-dana yang diterima dari masyarakat. Bank swasta banyak melakukan pelanggaran antara lain dengan menyalurkan kredit bank kepada grupnya sendiri atau anak perusahaan dari pemilik bank itu sendiri, antara lain disalurkan kepada usaha Real-Estate (perumahan mewah), pembangunan gedung-gedung bertingkat mewah, mendirikan super-market dan lain sebagainya yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat banyak, akibatnya penyalahgunaan kredit yang sebagian besar digunakan untuk kepentingan pribadi dan ada juga yang di investasikan di luar negeri akhirnya bank swasta tersebut tidak mampu mengangsur cicilan kreditnya kepada bank penyalur kredit cq Bank Pemerintah/BI. Untuk mengatasi hal tersebut  Pemerintah atas desakan IMF sebagai pra-syarat bantuan IMF kepada Indonesia, Pemerintah Indonesia telah melikuidasi 16 bank swasta.  Pemerintah Indonesia juga  melakukan merger di antara bank-bank Pemerintah sendiri agar bank Pemerintah bertambah kuat dan solid.
4.   Hutang luar negeri swasta berjangka pendek yang akan jatuh tempo pada bulan Maret 1998, telah mencapai US$. 9,6 milyard, meliputi hutang pokok dan pinjaman. Posisi hutang luar negeri yang ditanggung oleh perusahaan swasta itu merupakan bagian hutang luar negeri swasta sebesar US$ 65 milyard dari total pinjaman luar negeri Indonesia sebesar US$ 117,3 milyard per September 1997.  Jadi sekitar 50% atau US$ 32,5 milyard hutang swasta dikategorikan hutang berjangka pendek, termasuk surat berharga komersial.  Diperkirakan, hutang swasta yang jatuh tempo rata-rata mencapai US$ 2,708 milyard per bulan, jumlah yang tentunya sangat membebani neraca pembayaran hutang ini jugalah yang menyebabkan kelangkaan Dollar.  Perkembangannya bukan lagi apakah pinjaman swasta tersebut berjangka pendek, menengah atau panjang.  Namun Bank Indonesia harus mendapat kepastian seberapa banyak sektor swasta akan segera memenuhi hutang luar negerinya. Kewaspadaan terhadap pinjaman komersial luar negeri sektor swasta penting dilakukan, minimal menyangkut dua hal. Pertama, adanya kecenderungan yang terus meningkat dalam dua tahun terakhir dan kedua adanya kekurangan data dari Pemerintah dalam mendapatkan angka jumlah hutang sektor swasta.  Bahkan diperkirakan merosotnya nilai tukar Rupiah antara lain disebabkan oleh terus membengkaknya hutang luar negeri yang ditanggung swasta, sehingga begitu kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang jatuh tempo, sementara pada saat yang sama kondisi moneter di dalam negeri sedang kacau, maka kesulitan langsung membelit mereka (AD.Uphadi Media Indonesia, 4 Desember 1997).Disarankan untuk menanggulangi hutang luar negeri swasta agar diselesaikan oleh mereka sendiri. Pemerintah hanya sekedar memantau saja.  
5.   Adanya kolusi antara  Bank Indonesia dengan para pemilik Bank swasta dalam hal pemberian dana segar kepada pemilik bank swasta yang berlebih-lebihan tanpa memperhitungkan bank swasta itu sehat atau tidak menambah meningkatnya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan. Seyogyanya kasus Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) yang dikenal dengan kasus Edy Tamsil menjadi pelajaran yang pahit agar tidak terulang malah korupsi model Edy Tamsil dikembangkan semakin canggih oleh para koruptor di dunia perbankan. Krisis perekonomian Indonesia lebih diperparah dengan diberikannya dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) terhadap bank-bank swasta yang kental dengan aroma KKN.
6        Adanya pelarian modal investasi khususnya yang berasal dari dana BLBI dalam                bentuk US dollar oleh para konglomerat Indonesia ke luar negeri juga menambah memperburuk-nya perekonomian Indonesia.
7        Menurunnya nilai mata-uang Asia terhadap US dollar sekitar bulan Juli 1997 sampai dengan bulan Desember 1997 seperti Baht Thayland, Won Korea Selatan, Ringgit Malaysia, Peso Philippina, Dollar Taiwan, Dollar Singapore, Rupee India, turut-serta secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap US dollar.
 Krisis Ekonomi Periode ke II (Oktober 1999 s/d sekarang)
1.      Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid  bahwa apabila Memorandum II dikeluarkan  akan terjadi “pemberontakkan nasional” dan  bahwa lima daerah akan merdeka termasuk Madura, serta bangsa Indonesia akan pecah apabila dirinya mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden. Pernyataan ini menimbulkan rasa ketakutan dari para pelaku bisnis dan masyarakat akibatnya nilai kurs rupiah terhadap US dollar menurun tajam mendekati US $ 1 = Rp. 12.000,-
2.      Pemerintah terkesan ragu-ragu memberantas KKN, khususnya kepada para konglomerat penerima dana BLBI yang sampai sekarang belum diambil tindakan-tindakan kepada Marimuntu Sinivasan (Group Texmaco), Syamsul Nursalim dan  Prajogo Pangestu. Padahal bukti-bukti yang bersangkutan merugikan keuangan negara sudah jelas. Alih-alih merasa bersalah malah ada dari anak perusahaan yang bersangkutan mengajukan kredit tambahan modal kepada bank pemerintah dengan alasan agar perusahaannya tetap jalan dan ribuan karyawannya dapat tetap bekerja. Rupanya korupsi model Edy Tamsil betul-betul di manfaatkan untuk mengeruk uang Negara melalui perbankan .  
3.      Hasil Audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap penggunaan APBN Tahun Angaran 2000. Lembaga ini menemukan penyelewengan  dana senilai Rp. 8,5 triliun dengan 925 penyimpangan. Dan pada tahun anggaran sebelumnya ditemukan penyelewengan senilai Rp. 3,87 triliun dengan 834 penyimpangan Yang lebih mengejutkan lagi dari Audit BPK Tahun Anggaran 2000 penyimpangan di Sekretariat. Negara dan Sekretariat Kepresidenan masing-masing sebesar 50,82 % dan 57,93 %. Sementara di Departemen Kehakiman  dan HAM  sebesar 57,01 %. Ini sungguh luar biasa. Lembaga-lembaga yang mestinya memberi contoh efisiensi ternyata telah menjadi kampiun dalam penyimpangan uang negara. (Sumber: Media Indonesia, 23 Februari 2001). Hal ini  menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
4.      KKN belum sepenuhnya diberantas dan malah sekarang terkesan tambah meningkat dan menjamur.
5.      Stabilitas politik dan keamanan yang tidak kondusif  akibat hubungan eksekutif dan legislatif memburuk, adanya gerakan-gerakan separatis (GAM), OPM, Front Kedaulatan Maluku (RMS), konflik antar suku masih berlanjut,  kriminalitas melonjak, orang makin sadis, pro dan kontra presiden Gus Dur kian sengit, hubungan dengan IMF tersendat, investor berlarian ke negara lain, hal-hal ini lebih memperparah keterpurukan perekonomian Indonesia.
6.      Menurunnya legitimasi Pemerintahan Gus Dur.
7.      Kita mendukung usaha-usaha Gus Dur untuk memberantas KKN terhadap mantan pejabat-pejabat negara masa Orde Baru asal fair dan cukup bukti untuk segera diperiksa dan di diadili di Pengadilan Negeri. Akan lebih arif apabila Pemerintahan Gus Dur memberikan prioritas utama menangkap dan menyeret ke Pengadilan para pelaku koruptor penerima dana BLBI dan para pejabat Bank atau siapa saja yang terkait dan terbukti melakukan KKN dalam penyaluran dana BLBI. Tapi kenyataannya alih-alih para tersangka BLBI dihadapkan ke Pengadilan malah para tersangka tersebut dilepas dan dijadikan  tahanan rumah yaitu antara lain mantan Preskom Bank Moderen Samadikun Hartono dan mantan Presdir Bank Umum Nasional Kaharuddin Ongko.
Sedang tersangka korupsi lain seperti Faisal Abda’oe, David Nusa Wijaya, Syamsul Nursalim, Heru Soeprapto, Hendro Budiyanto, Samadikun Hartono, Kaharuddin Ongko, dan Praptono H Tjitroupoyo juga dilepas dari tahanan  Kejaksaan Agung. Tersangka korupsi Syamsul Nursalim sekarang ditahan dirumah sakit Medistra karena alasan sakit. Diketahui  yang bersangkutan setiap jam 03.00 WIB. malam keluar keluyuran meninggalkan rumah sakit.
Hal-hal yang seperti inilah menambah ketidak percayaan rakyat terhadap Pemerintah  atas kesungguhan Pemerintah memberantas KKN. Seakan-akan para konglomerat tersebut kebal hukum padahal mereka nyata-nyata merugikan keuangan negara.
Jangan dikira cara-cara Kejaksaan Agung dalam mengusut para tersangka KKN tidak dipantau  oleh negara-negara donor.
Ketidak mampuan pihak Kejaksaan Agung dalam menuntaskan pemberantasan KKN, turut memberikan andil kepada ketidakpercayaan lembaga-lembaga keuangan Internasioanl seperti IMF menunda mencairkan bantuannya kepada Indonesia.

2.2 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1.   Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.  Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.  Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4.  Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri

2.3 USAHA-USAHA MENGATASI KRISIS EKONOMI
 1. Transparansi Pemerintah dalam konteks penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat diperlukan agar mendapat kepercayaan  masyarakat.
2.      Meningkatkan accountability pengelolaan sumber-sumber pendanaan termasuk dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3.      Meningkatkan export non-migas dan membatasi habis-habisan import barang-barang konsumtif termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan untuk di import. Hal ini seyogyanya dilarang.
4.      Pemerintah harus berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mata uang Rupiah dan kepercayaan kepada bank-bank swasta yang dikelola dengan baik. Hal ini memang tidak mudah tetapi harus dimulai selangkah demi selangkah.
5.      Tabungan Nasional harus  digalakkan dan semua pihak harus mengetatkan ikat pingang khususnya kepada para pejabat Negara/pejabat Aparatur Pemerintah agar mempunyai rasa keprihatinan atas situasi multi krisis yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia dewasa ini. Hindarilah pemikiran mumpungisme di kalangan para pejabat Pemerintah. Utamakanlah kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.
6.      Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia seyogyanya memonitor dan mengawasi secara ketat Bank-bank Swasta agar tidak melakukan kecurangan-kecurangan dalam mengelola dana-dana yang diterima, baik dari Pemerintah maupun dari Masyarakat.
7.      Indonesia dengan jumlah penduduk  lebih 200 juta orang, rakyatnya lebih memerlukan terpenuhinya sandang pangan untuk keperluan sehari-hari dari pada barang-barang import untuk keperluan konsumtif. Seyogyanya Pemerintah Indonesia mengatasi krisis ekonomi dewasa ini lebih meningkatkan hasil produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan rakyat dengan jalan memberikan subsidi atau kredit langsung kepada pengusaha kecil maupun penyalurannya melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Tidak sebaliknya disalurkan kepada para pengusaha besar / konglomerat yang selalu mempunyai masalah kredit macet. Apabila hal ini dilakukan berarti Pemerintah turut serta memperkokoh fondasi perekonomian yang langsung menyentuh kepentingan sebagian besar penduduk Indonesia. Pada masa orde baru umumnya kredit Pemerintah diberikan kepada hanya segelintir pengusaha besar (konglomerat) yang pada umumnya kredit itu dipergunakan untuk kepentingan kelompok/group perusahaannya sendiri ( termasuk hutangnya dari luar negeri ) yang umumnya dipergunakan untuk membangun hotel-hotel bintang lima, tourism-resort, mall/supermaket, gedung-gedung apartemen mewah,  perumahan-perumahan mewah, pembangunan lapangan-lapangan golf dan lain sebagainya. Kesemua pembangunan tersebut samasekali tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak. Krisis moneter  antara lain diakibatkan oleh besarnya hutang-hutang luar negeri swasta tersebut, dampaknya berakibat menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia. Hal ini seyogyanya jangan terjadi lagi karena lebih dari 90 % rakyat Indonesia tidak membutuhkan mata uang dollar untuk keperluan hidup sehari-hari.
8.      Indonesia adalah negara kepulauan, karena itu seyogyanya Pemerintah menggalakkan pembangunan kapal-kapal inter-insuler (antar pulau) dari pada membangun industri pesawat terbang dan proyek-proyek mercusuar lainnya yang tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak.
9.      Proyek-proyek pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti pembangunan pabrik semen, pabrik textil, makanan, farmasi, listrik dan tilpun masuk desa, irigasi dan lain sebagainya agar terus dilanjutkan.
10.  Untuk mengatasi masalah perbankan nasional, merger bank adalah jalan terbaik. Kemelut yang dihadapi perbankan nasional saat ini lebih baik dihadapi dengan merger daripada dengan penurunan rasio kecukupan modal (CAR = Capital Adequate Ratio). Sebab apabila dilakukan pelanggaran CAR hanyalah untuk kepentingan sesaat yang berakibat bank kurang kompetitif disamping memunculkan spekulasi rekap kedua.
11.  Peringatan IMF atas bahaya defisit APBN harus dicermati secara seksama. Konsep Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dalam mengatasi defisit APBN 2001 antara lain: Peningkatan PPh antara Rp. 20-30 T, Penarikan dana perimbangan antara   Rp. 10-20 T, Pencabutan subsidi BBM Rp. 5 T, Penggenjotan pemasukan dari BUMN dan BPPN sebesar Rp. 33 T, dan Penurunan porsi pembiayaan proyek pemerintah sebesar    Rp. 19 T. Langkah-langkah ini apabila berhasil dilakukan Pemerintah dapat menekan defisit anggaran walaupun bersifat sementara .
12.  Bank Indonesia dan bank-bank Pemerintah lainnya hendaknya selektif dan ekstra hati-hati dalam menyalurkan kredit/penambahan modal kepada para pengusaha/konglomerat. Apalagi kalau jelas-jelas diketahui bahwa para pengusaha/konglomerat tersebut bermasalah dan diduga turut serta terlibat dalam penyalahgunaan dana BLBI. Bank  Indonesia/bank Pemerintah harus bertanggung jawab atas penyaluran kredit. Apabila ada  indikasi penyalahgunaan kredit bank (kredit macet) maka ke dua pihak baik penyalur maupun penerima kredit ke dua-duanya harus ditindak tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
13.  Pemerintah  hendaknya bertindak lebih tegas terhadap oknum-oknum pejabat dan para pelaku bisnis  apabila mereka terbukti melakukan korupsi  terhadap keuangan negara, pengadilan hendaknya tidak ragu-ragu  memberikan hukuman yang seberat-beratnya, termasuk hukuman seumur hidup atau hukuman mati kepada para pelaku mega korupsi. Hukuman mati kepada pelaku mega korupsi diperlukan sebagai shock terapi dalam mengatasi masalah korupsi yang sekarang menjamur di Indonesia. Sumber dari krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah diakibatkan karena pemerintah sampai saat ini belum berhasil membersihkan  KKN.
14.  Seyogyanya Pemerintah RI dalam menyusun program pembangunan perekonomian Indonesia selalu mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), bukan sebaliknya untuk kepentingan para pengusaha. Disamping itu dalam rangka Otonomi Daerah Pemerintah Pusat hendaknya melakukan pengawasan yang ketat terhadap Pemerintah Daerah agar pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat di Daerahnya tidak dirusak dan dikuras oleh para pengusaha. Contoh: Adanya keinginan dari Pemda Propinsi Kalimantan Selatan untuk menjadikan Hutan Lindung Pegunungan Meratus sebagai Hutan Produksi Terbatas. Apabila hal ini dilakukan mempunyai dampak lingkungan yang luas ( Ecological Disaster ) selain menimbulkan kerusakan hutan juga akan menimbulkan banjir besar pada musim hujan di daerah sekitarnya, termasuk banjir besar di sungai Barito Kalimantan Selatan


III. KESIMPULAN
Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangannya dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama adanya krisis ekonomi  berkaitan erat dengan  :
1.       Instabilitas politik  antara lain akibat adanya konflik antara lembaga eksekutif (Presiden) dengan lembaga legislatif (DPR-RI), yang  akhirnya  menimbulkan krisis konstitusi dan ketegangan politik di masyarakat luas.
2.       Instabilitas keamanan  antara lain akibat adanya konflik bernuansa sara di Ambon/ Maluku, Poso dan Sampit., adanya gerakan separatisme GAM dan OPM serta meningkatnya perbuatan kriminalitas yang makin sadis. Hal ini sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
3.       Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah penyebab utama timbulnya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sampai sekarang aparat Kejaksaan Agung belum berhasil menuntaskan kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Hasil pemeriksaan BPK tahun Anggaran 2000 di Departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah termasuk di Bank Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan penyalahgunaan penggunaan keuangan negara oleh oknum-oknum Pejabat/Aparatur Pemerintah.

Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Ketiga Faktor Utama Penyebab Krisis Ekonomi Tersebut Antara Lain :

1.      Segera menciptakan stabilitas politik dengan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk menyelesaikan krisis politik/krisis konstitusi. Sidang Istimewa MPR ini dapat digelar kapan saja sesuai dengan UUD 1945 Pasal 2 ayat 2. Penyelesaian krisis politik dengan jalan pembagian kekuasaan (power sharing), percepatan Pemilu, Dekrit Presiden atau pernyataan Negara dalam keadaan darurat tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan krisis politik baru yang semakin parah dan berkepanjangan yang tentunya akan menambah pula keterpurukan perekonomian Indonesia.
2.      Pemerintah segera menciptakan stabilitas keamanan dengan tindakan-tindakan tegas dan arif  khususnya dalam menyelesaikan konflik yang bernuansa sara. Segera menetralisir gerakan-gerakan separatisme agar tetap berada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.      Mega korupsi yang dilakukan para konglomerat yang bekerja sama dengan oknum-oknum Pejabat Negara khususnya didunia perbankan adalah akar dari segala akar keterpurukan perekonomian Indonesia dewasa ini. Semua bentuk korupsi di Negara Indonesia harus diberantas. Siapapun yang memimpin Pemerintahaan di Indonesia selama KKN masih merajalela keterpurukan perekonomian Indonesia sulit disembuhkan.  KKN merupakan penyakit kanker yang menggerogoti segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk memberantas perbuatan tindak pidana korupsi perlu dipikirkan agar pemerintah segera membentuk suatu Komisi Nasional semacam Komisi Nasional HAM khusus untuk menangani masalah perbuatan tindak pidana Korupsi berat. Komisi Nasional ini hendaknya diberikan wewenang hak examinasi untuk mengawasi para penegak hukum di bidang Kepolisian dan Kejaksaan dalam mereka menjalankan tugas dan kewajibannya ditingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Komisi Nasional ini juga diharapkan berperan sebagai semacam lembaga examinasi / yudical review setiap keputusan penegak hukum dalam perkara korupsi berat ditingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Apakah SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) yang dibuat oleh penegak hukum dimaksud sudah proposional atau tidak. Jika keputusan-keputusan SP3 dimaksud terbukti mengandung KKN maka pihak penegak hukum yang mengeluarkan SP3 seyogyanya dihadapkan kepengadilan. Hal ini perlu untuk mendaya-gunakan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya tentang Peran serta Masyarakat untuk membantu Pemerintah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 41 UU No. 31 tahun 1999).
Semoga penulisan artikel ini dapat bermanfaat sebagai wacana dan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Bangsa Indonesia ini sudah cukup lama  menderita akibat ulah oknum-oknum koruptor yang tidak bertanggung jawab yang menjarah kekayaan bangsa Indonesia baik berupa penjarahan keuangan negara diperbankan maupun pengurasan dan pengrusakan kekayaan alam Indonesia. Diharapkan Sidang Istimewa MPR mendatang dapat menghasilkan ketetapan-ketetapan/keputusan yang arif dan bijaksana untuk mengatasi instabilitas politik, instabilitas keamanan dan krisis ekonomi serta akar-akar penyebabnya.  

Daftar Pusaka
  1. http://putracenter.net/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
  2. Penulis adalah  Alumnus Fakultas Sospol, Jurusan Hubungan Internasional, UGM, tahun 1970, MBA, Pacific Western University, Hawaii.  Ph. D. dalam Ilmu Hubungan Internasional, Pacific Western University,  Hawaii, tahun 1997, Sesparlu 1994, Maequarie Uniersity, 1994 (Finance Management) ,U.N. Asean Development Institute Bangkok 1977 (Asean Commodities)
     
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar